Kamis, 16 Oktober 2014

haji dan umrah





BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Haji menurut bahasa berarti menyengaja sesuatu. Sedangkan menurut syara’ haji adalah menyengaja atau sengaja mengunjungi ka’bah untuk melakukan beberapa amal ibadah dengan syarat-syarat tertentu.
Ibadah haji merupakan salah satu rukun Islam yang kelima. Wajib dilakasanakan bagi mereka yang mampu. Dalam arti mampu untuk membiayai perjalanan ibadah haji, sehat jasmani dan tidak ada kendala untuk melaksanakan haji dan juga membiayai hidupnya setelah pulang dari haji. Ibadah haji diwajibkan oleh Rasulallah sekali seumur hidup sesuai dengan hadits Nabi sebagai berikut:
خَطَبَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ فَرَضَ اللهُ عَلَيْكُمُ الْحَجَّ فَحُجُّوا. فَقَالَ رَجُلٌ: أَكُلَّ عَامٍ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ فَسَكَتَ حَتَّى قَالَهَا ثَلاَثًا، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَوْ قُلْتُ نَعَمْ لَوَجَبَتْ، وَلَمَا اسْتَطَعْتُمْ. ثُمَّ قَالَ: ذَرُوْنِي مَا تَرَكْتُكُمْ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِكَثْرَةِ سُؤَالِهِمْ وَاخْتِلاَفِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَدَعُوْهُ
“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkhutbah di hadapan kami, beliau berkata: “Wahai sekalian manusia, sungguh Allah telah mewajibkan bagi kalian haji maka berhajilah kalian!” Seseorang berkata: “Apakah setiap tahun, ya Rasulullah?” Beliau terdiam sehingga orang tersebut mengulangi ucapannya tiga kali. Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Kalau aku katakan ya, niscaya akan wajib bagi kalian dan kalian tidak akan sanggup.” Kemudian beliau berkata: “Biarkanlah apa yang aku tinggalkan kepada kalian. Sesungguhnya orang sebelum kalian telah binasa karena mereka banyak bertanya yang tidak diperlukan dan menyelisihi nabi-nabi mereka. Jika aku memerintahkan sesuatu kepada kalian maka lakukanlah sesuai dengan kesanggupan kalian. Dan bila aku melarang kalian dari sesuatu maka tinggalkanlah.
Dalam pelaksanaannya, haji memiliki aspek diantaranya: syarat-syarat haji, rukun haji, kewajibannya, dan lain-lain.
Dalam makalah ini, penulis akan membahas mengenai syarat, rukun serta kewajiban haji dan umroh.

B.     Rumusan Masalah
Dari uraian diatas, dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut.
1.      Bagaimana ikhtilaf kewajiban haji dan umrah menurut empat mazhab ?
2.       Bagaimana ikhtilaf syarat-syarat haji menurut empat mazhab ?
3.      Bagaimana  ikhtilaf rukun-rukun haji menurut empat mazhab ?

C.     Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini sebagai berikut.
1.      Untuk mengetahui  ikhtilaf kewajiban haji dan umrah menurut empat mazhab.
2.      Untuk mengetahui ikhtilaf syarat-syarat haji menurut empat mazhab.
3.      Untuk mengetahui ikhtilaf rukun-rukun haji menurut empat mazhab.















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Q.S Ali Imran ayat 97

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا

Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah” (QS. Ali Imran: 97).

B.     Ikhtilaf Empat Mazhab Tentang Haji Dan Umrah
Para imam mazhab telah sepakat bahwa haji merupakan salah satu rukun Islam. Ia adalah fardu yang diwajibkan atas setiap Muslim yang merdeka, baligh, dan mempunyai kemampuan, dalam seumur hidup sekali.
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang hukum umrah. Hanafi dan Maliki mengatakan: umrah hukumnya adalah sunah. Hambali berpendapat: umrah hukumnya adalah fardu sebagaimana haji. Syafi’i mempunyai dua pendapat, dan yang paling shahih bahwa umrah hukumnya adalah fardu. (Ad-Dimasyqi, 2013: 161).
C.     Kewajiban dan Syarat-syarat Haji
Adapun wajib-wajib haji adalah:
1.      Ihram dari miqat
2.      Melempar jumroh
3.      Mabit di Muzdalifah
4.      Mabit di Mina
5.      Thawaf wada. (Darajat, 1982: 352)
Wajib-wajib umrah adalah:
1.      Ihram, dan
2.      Miqat. (Darajat, 1982: 352)
Miqat umrah ada 2:
Miqat zamani (ketentuan masa), yaitu sepanjang tahun boleh ihram untuk umrah.
Miqat makani (ketentuan tempat), seperti haji, berarti tempat ihram haji yang telah laluitu juga tempat ihram. Kecuali bagiyang bermaksud umrah dari Mekah, hendaklah ia keluar dari Tanah Haram ke Tanah Halal. Jadi, miqat orang yang di Mekah adalah Tanah Halal. (Rasjid, 2005: 276).

Adapun syarat-syarat haji adalah:
1.      Islam
2.      Baligh
3.      Berakal
4.      Orang merdeka
5.      Mampu (istitha’ah). (Darajat, 1982: 368)

Syarat-syarat umrah sama dengan syarat-syarat haji. (Rasjid, 2005: 275)
Syarat-syarat ibadah haji diantaranya adalah Islam, karena hajinya non-muslim tidak sah, dalam hal ini tidak perbedaan pendapat dikalangan ulama.
Para ulama berbeda pendapat tentang sah tidaknya anak kecil melakukan ibadah haji:
1.      Malik dan Syafi’i memperbolehkan anak kecil melakukan ibadah haji
2.      Abu Hanifah melarang anak kecil melakukannya
Penyebab perbedaan pendapat tersebut ialah karena bertentangannya hadits mengenai hal itu dengan prinsip-prinsip dasar (Ushul Fiqih). Hal itu karena ulama yang memperbolehkan anak kecil berhaji, dia berpegang kepada hadits Ibnu Abbas yang Masyhur, yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:
“Ada seorang wanita yang mengangkat anak kecil ke hadapan Nabi saw, lalu berkata, ‘bolehkah anak kecil ini berhaji, ya Rasulullah?’ Rasulullah menjawab, ‘Boleh dan anda pun mempunyai pahala.”
Ulama yang melarang hal tersebut, berpegang kepada prinsip dasarnya  (asalnya), yaitu bahwa semua ibadah tidak sah kalau dilakukan oleh orang yang tidak berakal. (Rusydi, 1991: 565-566).
Adapun syarat-syarat wajib haji, didalamnya disyaratkan Islam, sesuai dengan pendapat bahwa orang-orang kafirpun terkena seruan melaksanakan syariat-syariat Islam.
Tidak ada perbedaan pendapat mengenai disyaratkannya istitha’ah (punya kemampuan) dalam melakukan ibadah haji berdasarkan firman Allah swt, “(yaitu ) bagi orang yang mampu (sanggup) mengadakan perjalanan ke Baitullah.” Sekalipun dalam perincian kemampuan tersebut ada perbedaan pendapat, yang secara umum tampak pada dua jenis kemampuan, yaitu kemampuan secara langsung dan kemampuan mengutus penggantinya. (Rusydi, 1991: 566).
Mengenai kemampuan langsung, tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ulama bahwa diantara syaratnya adalah kemampuan fisik dan harta, serta dalam keadaan aman. Akan tetapi, mengenai penejlasan kemampuan fisik dan harta tersebut, para ulama berbeda pendapat:
1.      Syafi’i, Abu Hanifah, dan Ahmad berpendapat sesuai dengan pendapat Ibnu Abbas dan Umar bin Khatab bahwa diantara syarat mampu fisik dan harta itu adalah ada bekal dan kendaraan,
2.      Malik berpendapat bahwa barang siapa mampu berjalan kaki, maka adanya kendaraan tidak termasuk syarat wajib bagi dirinya, bahkan dia wajib melakukan haji. Begitu pula bagi orang tersebut bahwa adanya perbekalan itu tidak termasuk syarat istitha’ah, apabila dia termasuk orang yang bisa berusaha mendapatkan bekal selama perjalanannya, sekalipun dengan meminta bantuan orang lain. (Rusydi, 1991: 566).
Adapun mengenai kewajiban haji karena tidak mampu secara langsung, tetapi mampu mengutus pengganti, maka:
1.      Malik dan Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak wajib mengutus pengganti, apabila hal itu dimungkinkan sementara tidak mampu secara langsung,
2.      Syafi’i berpendapat bahwa mengutus pengganti itu diwajibkan, sehingga orang yang memiliki harta sebanyak yang dapat digunakan oleh orang lain untuk menghajikannya, apabila dia secara fisik tidak mampu berhaji (secar langsung), maka dia wajib dihajikan oleh orang lain dengan hartanya itu, apabila telah ada saudaranya atau kerabatnya yang menggantikan hajinya, maka gugurlah kewajiban hajinya.
Itulah permasalahan yang mereka definisikan sebagai al ma’dhub (orang lemah), yaitu orang yang tidak mampu naik kendaraan.
Syafi’i pun berpendapat bahwa orang meninggal dunia, tetapi belum melakukan ibadah haji, maka ahli warisnya wajib  mengeluarkan sebagaian hartanya sebanyak yang dapat digunakan untuk mengahajikannya. (Rusydi, 1991: 567).
Merdeka, Jumhur ulama sepakat bahwa hamba sahaya tidak diwajibkan beribadah haji sebelum dia merdeka. Akan tetapi, sebagian ahli zhahir mewajibkannya. (Rusydi, 1991: 570).

D.    Rukun-rukun Haji dan Umrah
Adapun rukun-rukun haji adalah:
1.      Ihram
2.      Wukuf di padang Arafah
3.      Thawaf (thawaf ifadhah)
4.      Sa’i antara Shafa dan Marwah
5.      Mencukur rambut kepala atau memotongnya
6.      Tertib. (Darajat, 1982: 352)
Rukun-rukun umrah adalah:
1.      Ihram
2.      Thawaf
3.      Sa’i antara Shafa dan Marwah
4.      Mencukur rambut kepala atau memotongnya
5.      Tertib. (Darajat, 1982: 352)

Syarat ihram yang pertama adalah tempat dan waktu. Tempat tersebut dikenal dengan sebutan miqat haji. (Rusydi, 1991: 576).
Jumhur ulama sepakat bahwa orang yang rumahnya lebih dekat (ke Baitullah) daripada miqat-miqat tersebut, miqat ihramnya dimulai dari rumahnya. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat, apakah ihramnya orang yang hendak berhaji itu lebih utama dimulai dari miqat-miqat tersebut, atau dari rumahnya apabila rumahnya itu berada diluar miqat-miqat itu:
1.      Segolongan berpendapat bahwa yang lebih utama adalah berihram mulai dari rumahnya,sedangkan memulai ihram dari miqat-miqat tersebut adalah rukhsah. Pendapat ini dinyatakan oleh Syafi’i, Abu Hanifah, Ats Tsauri dan Jemaah ulama.
2.      Malik, Ishak dan Ahmad berpendapat bahwa ihramnya orang tesebut lebih utama mulai dari miqatnya. Landasan mereka adalah hadits-hadits ynag sudah disebutkan dan bahwa miqat-miqat itu adalah aturan yang telah ditetapkan oleh Rasulullah saw, sehingga hal itu lebih utama.
3.      Prinsip-prinsip ahli zhahir menetapkan bahwa tidak diperblehkan berihram kecuali dimulai dari moqat-miqat tersebut dan kesepakatan atas perbedaan miqat itu telah sah. (Rusydi, 1991: 577-578).
Mengenai miqat zamani, itu sudah ditentukan untuk ketga jenis ibadah haji yaitu bulan syawal, zulkaidah, dan berakhir tanggal 9 zulhijah, menurut kesepakatan.
Malik berpendapat bahwa pada  ketiga bulan tersebut diperbolehkan untuk melakukan ibadah haji.
Syafii berpendapat bahwa pada kedua bulan tersebut sampai tanggal 9 zulhijah boleh digunakan untuk memulai berhaji.
Abu Hanifah berpendapat bahwa waktu yang dipergunakan untuk berhaji hanya pada tanggal 10 zulhijah. (Rusydi, 1991: 579).
Tawaf di Baitullah, jumhur ulama sepakat bahwa cara tawaf, baik tawaf wajib maupun yang bukan wajib adalah:
1.      Dimuali dari hajr aswad
2.      Mencium hajar aswad sebelumnya, atau menyentuhnya dengan tangan atau menghadapkan tangan kepadanya sedapat mungkin
3.      Menempatkan Baitllah (Ka’bah) disamping kiri dan berjalan (bergerak) ke arah kanan (jadi berputar berlawanan dengan arah jarum jam)
4.      Mengerjakan tawaf tujuh kali putaran, yaitu tiga kali putaran dengan perjalanan yang cepat dan empat putaran dengan berjalan kaki biasa (perlahan)
Tawaf-tawaf itu adalah untuk tawaf qudum (tawaf ketuka baru sampai) di Mekah serta untuk orang yang melaksanakan ibadah haji dan umrah, yang bukan haji tamattu,
5.      Bagi wanita tidak ada keharusan berjalan cepat
6.      Mengusap rukun Yamani, aitu rukun yang terdapat pada ruknul aswad (penopang yang berwarna hitam) karena cara ini ada ketetapannya dari perbuatan Nabi saw. (Rusydi, 1991: 606).
Macam-macam tawaf, tawaf  qudum, tawaf ifadhah, dan tawaf wada’. Para ulama sepakat bahwa tawaf yang diwajibkan dari ketiganya adalah tawaf ifadhah.
Segolongan ulama berpendapat bahwa orang yang diperintahkan bertawaf, disunahkan berlari-lari kecil pada tiga putaran tawaf ifadhah, seperti disunahkannya  jalan cepat pada tawaf qudum mereka sepakat bahwa penduduk Mekah hanya diwajibkan tawaf ifadhah, sebagaimana mereka menyepakati bahwa orang yang berumrah hanya diwajibkan tawaf qudum, mereka juga sepakat bahwa orang yang melaksanakan haji tamattu’ diwajibkan menegrjakan dua kali  tawaf, yaitu tawaf untuk umrah sebagai tawaf untuk tahallul dari umrah, dan tawaf untuk ibadah haji pada hari kurban (tanggal 10 zulhijah), sesuai dengan keterangan yang terdapat pada hadits Aisyah yang telah masyhur. (Rusydi, 1991: 613-614).
Sa’i antara Shafa dan Marwah, Malik dan Syafi’i berpendapat bahwa hukum pelaksanaan sa’i adalah wajib. Dan apabila seseorang tidak mengerjakan sa’i dalam rangkaian ibadah hajinya, dia diwajibkan mengulang ibadah hajinya pada tahun yang akan datang. Pendapat ini dinyatakan oleh Ahmad dan Ishaq.
Para ulama Kufah berpendapat bahwa sa’i adalah sunah. Apabila orang ynag berhaji pulang ke negerinya, sementara dia belum mengerjakan sa’i, maka dia wajib mengeluarkan denda.
Sebagian mereka berpendapat bahwa sa’i adalah tathawwu’ (sunah) dan tidak ada kewajiban apa-apa bagi orang yang meninggalkannya. (Rusydi, 1991: 614).
Wukuf di Arafah, mengenai hukum wukuf di Arafah, para ulama sepakat bahwa wukuf adalah salah satu rukun haji dan bahwa orang yang terlambat wukuf, wajib melaksanakan ibadah haji kembali pada tahun depan, serta menyerahkan hewan sembelihan, menurut pendapat mayoritas mereka karena berdasarkan  sabda Nabi saw:
“Haji itu adalah Arafah.”
Cara wukuf ada empat:
1.      Imam mengimani salat di Arafah pada hari Arafah (tanggal 9 zulhijah)
2.      Tatkala matahari tergelincir, imam berkhotbah dihadapan orang-orang
3.      Menjamak shalat anatara lohor dan ashar pada awal waktu lohor
4.      Wukuf di Arafah hingga terbenam matahari. (Rusydi, 1991: 618).
Tidak ada perbedaan pendapat diantara ulama bahwa apa yang diperbuat Rasulullah saw adalah sunah wukuf di Arafah. Mereka juga sepakat bahwa orang yang berwukuf di Arafah sebelum tergelincir matahari (tanggal 9 zulhijah) dan keluar dari sana sebelum tergelincir matahari tersebut , maka baginya hal itu tidak dianggap sebagai pelaksanaan wukuf. Apabila dia tidak kembali untuk berwukuf setelah  tergelincir matahari, atau berwukuf pada malam harinya sebelum terbit fajar, berarti dia terlambat mengerjakan haji. (Rasydi, 1991: 621).
Malik berpendapat bahwa diwajibkan haji kembali tahun berikutnya, kecuali kalau dia kembali (ke Arafah) sebelum terbit fajar, namun apabila dia bertolak dari Arafah sebelum perginya imam, tetapi sesudah terbenam matahari, maka wukufnya telah sah. Secara umum, syarat sah wukuf menurut Malik adalah hendaknya orang itu berwukuf pada malam hari. (Rasydi, 1991: 621).
Jumhur ulama berpendapat bahwa barang siapa berwukuf di Arafah sebelum tergelincir matahari, maka hajinya telah sempurna, sekalipun dia bertolak menuju Muzdalifah sebelum terbenam matahari. Hanya saja mereka sepakat mengenai diwajibkannya membayar denda  baginya. (Rasydi, 1991: 622).
Bermalam di Muzdalifah, para ulama sepakat bahwa orang yang telah bermalam di Muzdalifah pada malam kurban (tanggal 10 zulhijah), menjamak shalat maghrib dengan isya bersma imam, berwukuf sehabis shalat subuh hingga waktu isfar (waktu baru saja matahari terbenam), dan berwukuf di Arafah, maka hajinya telah sempurna karena Rasulullah saw juga melakukan demikian. (Rasydi, 1991: 623).
Melempar Jumrah, perbuatan haji yang dikerjakan sesudah wukuf di Muzdalifah adalah melempar jumrah (batu). Berdasarkan kesepakatan kaum muslimin bahwa Nabi saw berwukuf di Masy’aril Haram, yaitu Muzdalifah setelah mengerjakan shalat subuh dan setelah terbit matahari bertolak dari sana menuju Mina. Pada hari tersebut yaitu tanggal 10 Zulhijah, Beliau saw melempar jumrah aqabah setelah terbit matahari. (Rasydi, 1991: 624-625).
Mereka berbeda pendapat mengenai orang yang melempar jumrah aqabah sebelum terbit fajar. Malik mengatakan, “Kami belum pernah mendengar Rasulullah saw memberikan rukhsah kepada seseorang untuk melemparkan jumrah aqabah sebelum terbit fajar karena hal itu tidak diperbolehkan, sehingga orang yang melemparkannya sebelum fajar, dia harus mengulanginya.” Pendapat ini disepakatai oleh Abu Hanifah, Sufyan dan Ahmad. (Rasydi, 1991: 625).
Syafi’i mengatakan, “Melemparan jumrah sebelum terbit fajar diperbolehkan, meskipun yang disunahkan adalah setelah terbit matahari.” (Rasydi, 1991: 625).
Para ulama juga sepakat bahwa waktu yang disunahkan untuk melempar jumrah aqabah adalah sejak terbit matahari hingga waktu zawal (tergelincir matahari) dan apabila seseorang melemparkannya  sebelum terbenam matahari pada tanggal 10  Zulhijah, maka hal itubtelah memenuhi syarat dan tidak ada kewajiban apa-apa baginya. Kecuali menurut Malik karena dia mengatakan bahwa disunahkan baginya untuk menyerahkan denda. (Rasydi, 1991: 626).
Mereka berbeda pendapat mengenai  orang yang belum melemparkan jumrah hingga matahari terbenam, kemudian melemparkannya pada malam harinya atau keesokan harinya.
Malik berpendapat bahwa orang tersebut diwajibkan membayar denda.
Abu Hanifah berpendapat bahwa apabila orang itu melemparkannya pada amalam hari, maka tidak ada kewajiban apa-apa atasnya. Akan tetapi, jika menunda hingga keesokan harinya, dia wajibmengeluarkan denda. (Rasydi, 1991: 626).
Abu Yusuf, Muhammad, dan Syafi’i berpendapat bahwa tidak ada kewajiban apapun atas orang itu jika dia menunda hingga malam harinya atau keesokan harinya. (Rasydi, 1991: 626).

















BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
Para imam mazhab telah sepakat bahwa haji merupakan salah satu rukun Islam. Ia adalah fardu yang diwajibkan atas setiap Muslim yang merdeka, baligh, dan mempunyai kemampuan, dalam seumur hidup sekali.
Syarat-syarat ibadah haji diantaranya adalah Islam, karena hajinya non-muslim tidak sah, dalam hal ini tidak perbedaan pendapat dikalangan ulama.
Para ulama berbeda pendapat tentang sah tidaknya anak kecil melakukan ibadah haji: Malik dan Syafi’i memperbolehkan anak kecil melakukan ibadah haji, sedangkan Abu Hanifah melarang anak kecil melakukannya.
Jumhur ulama sepakat bahwa orang yang rumahnya lebih dekat (ke Baitullah) daripada miqat-miqat tersebut, miqat ihramnya dimulai dari rumahnya.
Segolongan ulama berpendapat bahwa orang yang diperintahkan bertawaf, disunahkan berlari-lari kecil pada tiga putaran tawaf ifadhah, seperti disunahkannya  jalan cepat pada tawaf qudum mereka sepakat bahwa penduduk Mekah hanya diwajibkan tawaf ifadhah.
Sa’i antara Shafa dan Marwah, Malik dan Syafii berpendapat bahwa hukum pelaksanaan sa’i adalah wajib.
Wukuf di Arafah, mengenai hukum wukuf di Arafah, para ulama sepakat bahwa wukuf adalah salah satu rukun haji dan bahwa orang yang terlambat wukuf, wajib melaksanakan ibadah haji kembali pada tahun depan, serta menyerahkan hewan sembelihan.
Bermalam di Muzdalifah, para ulama sepakat bahwa orang yang telah bermalam di Muzdalifah pada malam kurban (tanggal 10 zulhijah), menjamak shalat maghrib dengan isya bersma imam, berwukuf sehabis shalat subuh hingga waktu isfar (waktu baru saja matahari terbenam), dan berwukuf di Arafah, maka hajinya telah sempurna karena Rasulullah saw juga melakukan demikian.
Melempar Jumrah, perbuatan haji yang dikerjakan sesudah wukuf di Muzdalifah adalah melempar jumrah (batu). Berdasarkan kesepakatan kaum muslimin bahwa Nabi saw berwukuf di Masy’aril Haram, yaitu Muzdalifah setelah mengerjakan shalat subuh dan setelah terbit matahari bertolak dari sana menuju Mina.




















DAFTAR PUSTAKA
Ad-Dimasyqi,Syaikh Al-Allamah Muhammad Bin Abdurrohman.2013.Fiqih Empat Mazhab.Bandung: Hasyimi.
Darajat,Zakiah.1982.Ilmu Fiqh.Jakarta: Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama/ IAIN Di Pusat.
Rasjid,Sulaiman.2005.Fiqih Islam.Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Rusydi,Ibnu.1991.Bidayatul Mujtahid.Bandung: Trigenda Karya.