PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Haji menurut bahasa berarti menyengaja sesuatu.
Sedangkan menurut syara’ haji adalah menyengaja atau sengaja mengunjungi ka’bah
untuk melakukan beberapa amal ibadah dengan syarat-syarat tertentu.
Ibadah haji merupakan salah satu rukun Islam yang
kelima. Wajib dilakasanakan bagi mereka yang mampu. Dalam arti mampu untuk
membiayai perjalanan ibadah haji, sehat jasmani dan tidak ada kendala untuk
melaksanakan haji dan juga membiayai hidupnya setelah pulang dari haji. Ibadah
haji diwajibkan oleh Rasulallah sekali seumur hidup sesuai dengan hadits Nabi
sebagai berikut:
خَطَبَنَا رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ
فَرَضَ اللهُ عَلَيْكُمُ الْحَجَّ فَحُجُّوا. فَقَالَ رَجُلٌ: أَكُلَّ عَامٍ يَا
رَسُوْلَ اللهِ؟ فَسَكَتَ حَتَّى قَالَهَا ثَلاَثًا، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَوْ قُلْتُ نَعَمْ لَوَجَبَتْ، وَلَمَا
اسْتَطَعْتُمْ. ثُمَّ قَالَ: ذَرُوْنِي مَا تَرَكْتُكُمْ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ
كَانَ قَبْلَكُمْ بِكَثْرَةِ سُؤَالِهِمْ وَاخْتِلاَفِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ
فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَإِذَا
نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَدَعُوْهُ
“Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam berkhutbah di hadapan kami, beliau berkata: “Wahai sekalian
manusia, sungguh Allah telah mewajibkan bagi kalian haji maka berhajilah
kalian!” Seseorang berkata: “Apakah setiap tahun, ya Rasulullah?” Beliau
terdiam sehingga orang tersebut mengulangi ucapannya tiga kali. Lalu Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Kalau aku katakan ya, niscaya akan
wajib bagi kalian dan kalian tidak akan sanggup.” Kemudian beliau berkata:
“Biarkanlah apa yang aku tinggalkan kepada kalian. Sesungguhnya orang sebelum
kalian telah binasa karena mereka banyak bertanya yang tidak diperlukan dan
menyelisihi nabi-nabi mereka. Jika aku memerintahkan sesuatu kepada kalian maka
lakukanlah sesuai dengan kesanggupan kalian. Dan bila aku melarang kalian dari
sesuatu maka tinggalkanlah.
Dalam pelaksanaannya,
haji memiliki aspek diantaranya: syarat-syarat haji, rukun haji, kewajibannya,
dan lain-lain.
Dalam makalah ini,
penulis akan membahas mengenai syarat, rukun serta kewajiban haji dan umroh.
B.
Rumusan
Masalah
Dari uraian diatas, dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut.
1. Bagaimana ikhtilaf kewajiban haji dan umrah menurut empat mazhab ?
2. Bagaimana ikhtilaf syarat-syarat
haji menurut empat mazhab ?
3.
Bagaimana ikhtilaf rukun-rukun haji menurut empat
mazhab ?
C.
Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini sebagai berikut.
1.
Untuk mengetahui ikhtilaf kewajiban haji dan umrah menurut
empat mazhab.
2.
Untuk mengetahui
ikhtilaf syarat-syarat haji menurut empat mazhab.
3.
Untuk mengetahui
ikhtilaf rukun-rukun haji menurut empat mazhab.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Q.S
Ali Imran ayat 97
وَلِلَّهِ
عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا
“Mengerjakan haji
adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup
Mengadakan perjalanan ke Baitullah” (QS. Ali Imran: 97).
B.
Ikhtilaf
Empat Mazhab Tentang Haji Dan Umrah
Para imam mazhab telah sepakat bahwa
haji merupakan salah satu rukun Islam. Ia adalah fardu yang diwajibkan atas
setiap Muslim yang merdeka, baligh, dan mempunyai kemampuan, dalam seumur hidup
sekali.
Para imam mazhab berbeda pendapat
tentang hukum umrah. Hanafi dan Maliki mengatakan: umrah hukumnya adalah sunah.
Hambali berpendapat: umrah hukumnya adalah fardu sebagaimana haji. Syafi’i
mempunyai dua pendapat, dan yang paling shahih bahwa umrah hukumnya adalah
fardu. (Ad-Dimasyqi, 2013: 161).
C.
Kewajiban
dan Syarat-syarat Haji
Adapun wajib-wajib haji adalah:
1.
Ihram
dari miqat
2.
Melempar
jumroh
3.
Mabit
di Muzdalifah
4.
Mabit
di Mina
5.
Thawaf
wada. (Darajat, 1982: 352)
Wajib-wajib umrah adalah:
1.
Ihram,
dan
2.
Miqat.
(Darajat, 1982: 352)
Miqat umrah ada
2:
Miqat zamani
(ketentuan masa), yaitu sepanjang tahun boleh ihram untuk umrah.
Miqat makani
(ketentuan tempat), seperti haji, berarti tempat ihram haji yang telah laluitu
juga tempat ihram. Kecuali bagiyang bermaksud umrah dari Mekah, hendaklah ia
keluar dari Tanah Haram ke Tanah Halal. Jadi, miqat orang yang di Mekah adalah Tanah
Halal. (Rasjid, 2005: 276).
Adapun
syarat-syarat haji adalah:
1.
Islam
2.
Baligh
3.
Berakal
4.
Orang
merdeka
5.
Mampu
(istitha’ah). (Darajat, 1982: 368)
Syarat-syarat
umrah sama dengan syarat-syarat haji. (Rasjid, 2005: 275)
Syarat-syarat
ibadah haji diantaranya adalah Islam, karena hajinya non-muslim tidak
sah, dalam hal ini tidak perbedaan pendapat dikalangan ulama.
Para ulama
berbeda pendapat tentang sah tidaknya anak kecil melakukan ibadah haji:
1.
Malik
dan Syafi’i memperbolehkan anak kecil melakukan ibadah haji
2.
Abu
Hanifah melarang anak kecil melakukannya
Penyebab
perbedaan pendapat tersebut ialah karena bertentangannya hadits mengenai hal
itu dengan prinsip-prinsip dasar (Ushul Fiqih). Hal itu karena ulama yang
memperbolehkan anak kecil berhaji, dia berpegang kepada hadits Ibnu Abbas yang
Masyhur, yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:
“Ada seorang
wanita yang mengangkat anak kecil ke hadapan Nabi saw, lalu berkata, ‘bolehkah
anak kecil ini berhaji, ya Rasulullah?’ Rasulullah menjawab, ‘Boleh dan anda
pun mempunyai pahala.”
Ulama yang
melarang hal tersebut, berpegang kepada prinsip dasarnya (asalnya), yaitu bahwa semua ibadah tidak sah
kalau dilakukan oleh orang yang tidak berakal. (Rusydi, 1991: 565-566).
Adapun
syarat-syarat wajib haji, didalamnya disyaratkan Islam, sesuai dengan
pendapat bahwa orang-orang kafirpun terkena seruan melaksanakan syariat-syariat
Islam.
Tidak ada
perbedaan pendapat mengenai disyaratkannya istitha’ah (punya kemampuan) dalam
melakukan ibadah haji berdasarkan firman Allah swt, “(yaitu ) bagi orang yang
mampu (sanggup) mengadakan perjalanan ke Baitullah.” Sekalipun dalam perincian
kemampuan tersebut ada perbedaan pendapat, yang secara umum tampak pada dua
jenis kemampuan, yaitu kemampuan secara langsung dan kemampuan mengutus
penggantinya. (Rusydi, 1991: 566).
Mengenai
kemampuan langsung, tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ulama bahwa diantara
syaratnya adalah kemampuan fisik dan harta, serta dalam keadaan aman. Akan
tetapi, mengenai penejlasan kemampuan fisik dan harta tersebut, para ulama
berbeda pendapat:
1.
Syafi’i,
Abu Hanifah, dan Ahmad berpendapat sesuai dengan pendapat Ibnu Abbas dan Umar
bin Khatab bahwa diantara syarat mampu fisik dan harta itu adalah ada bekal dan
kendaraan,
2.
Malik
berpendapat bahwa barang siapa mampu berjalan kaki, maka adanya kendaraan tidak
termasuk syarat wajib bagi dirinya, bahkan dia wajib melakukan haji. Begitu
pula bagi orang tersebut bahwa adanya perbekalan itu tidak termasuk syarat
istitha’ah, apabila dia termasuk orang yang bisa berusaha mendapatkan bekal
selama perjalanannya, sekalipun dengan meminta bantuan orang lain. (Rusydi,
1991: 566).
Adapun mengenai
kewajiban haji karena tidak mampu secara langsung, tetapi mampu mengutus
pengganti, maka:
1.
Malik
dan Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak wajib mengutus pengganti, apabila hal
itu dimungkinkan sementara tidak mampu secara langsung,
2.
Syafi’i
berpendapat bahwa mengutus pengganti itu diwajibkan, sehingga orang yang
memiliki harta sebanyak yang dapat digunakan oleh orang lain untuk
menghajikannya, apabila dia secara fisik tidak mampu berhaji (secar langsung),
maka dia wajib dihajikan oleh orang lain dengan hartanya itu, apabila telah ada
saudaranya atau kerabatnya yang menggantikan hajinya, maka gugurlah kewajiban
hajinya.
Itulah
permasalahan yang mereka definisikan sebagai al ma’dhub (orang lemah), yaitu
orang yang tidak mampu naik kendaraan.
Syafi’i pun
berpendapat bahwa orang meninggal dunia, tetapi belum melakukan ibadah haji,
maka ahli warisnya wajib mengeluarkan
sebagaian hartanya sebanyak yang dapat digunakan untuk mengahajikannya.
(Rusydi, 1991: 567).
Merdeka, Jumhur ulama sepakat bahwa hamba sahaya tidak diwajibkan
beribadah haji sebelum dia merdeka. Akan tetapi, sebagian ahli zhahir
mewajibkannya. (Rusydi, 1991: 570).
D.
Rukun-rukun
Haji dan Umrah
Adapun rukun-rukun haji adalah:
1.
Ihram
2.
Wukuf
di padang Arafah
3.
Thawaf
(thawaf ifadhah)
4.
Sa’i
antara Shafa dan Marwah
5.
Mencukur
rambut kepala atau memotongnya
6.
Tertib.
(Darajat, 1982: 352)
Rukun-rukun umrah adalah:
1.
Ihram
2.
Thawaf
3.
Sa’i
antara Shafa dan Marwah
4.
Mencukur
rambut kepala atau memotongnya
5.
Tertib.
(Darajat, 1982: 352)
Syarat ihram
yang pertama adalah tempat dan waktu. Tempat tersebut dikenal dengan
sebutan miqat haji. (Rusydi, 1991: 576).
Jumhur ulama
sepakat bahwa orang yang rumahnya lebih dekat (ke Baitullah) daripada
miqat-miqat tersebut, miqat ihramnya dimulai dari rumahnya. Akan tetapi, mereka
berbeda pendapat, apakah ihramnya orang yang hendak berhaji itu lebih utama
dimulai dari miqat-miqat tersebut, atau dari rumahnya apabila rumahnya itu
berada diluar miqat-miqat itu:
1.
Segolongan
berpendapat bahwa yang lebih utama adalah berihram mulai dari rumahnya,sedangkan
memulai ihram dari miqat-miqat tersebut adalah rukhsah. Pendapat ini dinyatakan
oleh Syafi’i, Abu Hanifah, Ats Tsauri dan Jemaah ulama.
2.
Malik,
Ishak dan Ahmad berpendapat bahwa ihramnya orang tesebut lebih utama mulai dari
miqatnya. Landasan mereka adalah hadits-hadits ynag sudah disebutkan dan bahwa
miqat-miqat itu adalah aturan yang telah ditetapkan oleh Rasulullah saw,
sehingga hal itu lebih utama.
3.
Prinsip-prinsip
ahli zhahir menetapkan bahwa tidak diperblehkan berihram kecuali dimulai dari
moqat-miqat tersebut dan kesepakatan atas perbedaan miqat itu telah sah.
(Rusydi, 1991: 577-578).
Mengenai miqat
zamani, itu sudah ditentukan untuk ketga jenis ibadah haji yaitu bulan
syawal, zulkaidah, dan berakhir tanggal 9 zulhijah, menurut kesepakatan.
Malik
berpendapat bahwa pada ketiga bulan
tersebut diperbolehkan untuk melakukan ibadah haji.
Syafii
berpendapat bahwa pada kedua bulan tersebut sampai tanggal 9 zulhijah boleh
digunakan untuk memulai berhaji.
Abu Hanifah
berpendapat bahwa waktu yang dipergunakan untuk berhaji hanya pada tanggal 10
zulhijah. (Rusydi, 1991: 579).
Tawaf di
Baitullah, jumhur ulama
sepakat bahwa cara tawaf, baik tawaf wajib maupun yang bukan wajib adalah:
1. Dimuali dari hajr aswad
2. Mencium hajar aswad sebelumnya, atau menyentuhnya dengan tangan
atau menghadapkan tangan kepadanya sedapat mungkin
3. Menempatkan Baitllah (Ka’bah) disamping kiri dan berjalan
(bergerak) ke arah kanan (jadi berputar berlawanan dengan arah jarum jam)
4. Mengerjakan tawaf tujuh kali putaran, yaitu tiga kali putaran
dengan perjalanan yang cepat dan empat putaran dengan berjalan kaki biasa
(perlahan)
Tawaf-tawaf itu
adalah untuk tawaf qudum (tawaf ketuka baru sampai) di Mekah serta untuk orang
yang melaksanakan ibadah haji dan umrah, yang bukan haji tamattu,
5. Bagi wanita tidak ada keharusan berjalan cepat
6. Mengusap rukun Yamani, aitu rukun yang terdapat pada ruknul aswad
(penopang yang berwarna hitam) karena cara ini ada ketetapannya dari perbuatan
Nabi saw. (Rusydi, 1991: 606).
Macam-macam
tawaf, tawaf qudum, tawaf ifadhah, dan
tawaf wada’. Para ulama sepakat bahwa tawaf yang diwajibkan dari ketiganya
adalah tawaf ifadhah.
Segolongan
ulama berpendapat bahwa orang yang diperintahkan bertawaf, disunahkan
berlari-lari kecil pada tiga putaran tawaf ifadhah, seperti disunahkannya jalan cepat pada tawaf qudum mereka sepakat
bahwa penduduk Mekah hanya diwajibkan tawaf ifadhah, sebagaimana mereka
menyepakati bahwa orang yang berumrah hanya diwajibkan tawaf qudum, mereka juga
sepakat bahwa orang yang melaksanakan haji tamattu’ diwajibkan menegrjakan dua
kali tawaf, yaitu tawaf untuk umrah
sebagai tawaf untuk tahallul dari umrah, dan tawaf untuk ibadah haji pada hari
kurban (tanggal 10 zulhijah), sesuai dengan keterangan yang terdapat pada
hadits Aisyah yang telah masyhur. (Rusydi, 1991: 613-614).
Sa’i antara
Shafa dan Marwah, Malik dan Syafi’i
berpendapat bahwa hukum pelaksanaan sa’i adalah wajib. Dan apabila seseorang
tidak mengerjakan sa’i dalam rangkaian ibadah hajinya, dia diwajibkan mengulang
ibadah hajinya pada tahun yang akan datang. Pendapat ini dinyatakan oleh Ahmad
dan Ishaq.
Para ulama
Kufah berpendapat bahwa sa’i adalah sunah. Apabila orang ynag berhaji pulang ke
negerinya, sementara dia belum mengerjakan sa’i, maka dia wajib mengeluarkan
denda.
Sebagian mereka
berpendapat bahwa sa’i adalah tathawwu’ (sunah) dan tidak ada kewajiban apa-apa
bagi orang yang meninggalkannya. (Rusydi, 1991: 614).
Wukuf di
Arafah, mengenai hukum wukuf di Arafah, para
ulama sepakat bahwa wukuf adalah salah satu rukun haji dan bahwa orang yang
terlambat wukuf, wajib melaksanakan ibadah haji kembali pada tahun depan, serta
menyerahkan hewan sembelihan, menurut pendapat mayoritas mereka karena
berdasarkan sabda Nabi saw:
“Haji itu
adalah Arafah.”
Cara wukuf ada
empat:
1.
Imam
mengimani salat di Arafah pada hari Arafah (tanggal 9 zulhijah)
2.
Tatkala
matahari tergelincir, imam berkhotbah dihadapan orang-orang
3.
Menjamak
shalat anatara lohor dan ashar pada awal waktu lohor
4.
Wukuf
di Arafah hingga terbenam matahari. (Rusydi, 1991: 618).
Tidak ada
perbedaan pendapat diantara ulama bahwa apa yang diperbuat Rasulullah saw
adalah sunah wukuf di Arafah. Mereka juga sepakat bahwa orang yang berwukuf di
Arafah sebelum tergelincir matahari (tanggal 9 zulhijah) dan keluar dari sana
sebelum tergelincir matahari tersebut , maka baginya hal itu tidak dianggap
sebagai pelaksanaan wukuf. Apabila dia tidak kembali untuk berwukuf setelah tergelincir matahari, atau berwukuf pada
malam harinya sebelum terbit fajar, berarti dia terlambat mengerjakan haji.
(Rasydi, 1991: 621).
Malik
berpendapat bahwa diwajibkan haji kembali tahun berikutnya, kecuali kalau dia
kembali (ke Arafah) sebelum terbit fajar, namun apabila dia bertolak dari
Arafah sebelum perginya imam, tetapi sesudah terbenam matahari, maka wukufnya
telah sah. Secara umum, syarat sah wukuf menurut Malik adalah hendaknya orang
itu berwukuf pada malam hari. (Rasydi, 1991: 621).
Jumhur ulama
berpendapat bahwa barang siapa berwukuf di Arafah sebelum tergelincir matahari,
maka hajinya telah sempurna, sekalipun dia bertolak menuju Muzdalifah sebelum
terbenam matahari. Hanya saja mereka sepakat mengenai diwajibkannya membayar
denda baginya. (Rasydi, 1991: 622).
Bermalam di
Muzdalifah, para ulama
sepakat bahwa orang yang telah bermalam di Muzdalifah pada malam kurban
(tanggal 10 zulhijah), menjamak shalat maghrib dengan isya bersma imam,
berwukuf sehabis shalat subuh hingga waktu isfar (waktu baru saja matahari
terbenam), dan berwukuf di Arafah, maka hajinya telah sempurna karena
Rasulullah saw juga melakukan demikian. (Rasydi, 1991: 623).
Melempar
Jumrah, perbuatan haji yang dikerjakan
sesudah wukuf di Muzdalifah adalah melempar jumrah (batu). Berdasarkan
kesepakatan kaum muslimin bahwa Nabi saw berwukuf di Masy’aril Haram, yaitu
Muzdalifah setelah mengerjakan shalat subuh dan setelah terbit matahari
bertolak dari sana menuju Mina. Pada hari tersebut yaitu tanggal 10 Zulhijah,
Beliau saw melempar jumrah aqabah setelah terbit matahari. (Rasydi, 1991:
624-625).
Mereka berbeda
pendapat mengenai orang yang melempar jumrah aqabah sebelum terbit fajar. Malik
mengatakan, “Kami belum pernah mendengar Rasulullah saw memberikan rukhsah
kepada seseorang untuk melemparkan jumrah aqabah sebelum terbit fajar karena
hal itu tidak diperbolehkan, sehingga orang yang melemparkannya sebelum fajar,
dia harus mengulanginya.” Pendapat ini disepakatai oleh Abu Hanifah, Sufyan dan
Ahmad. (Rasydi, 1991: 625).
Syafi’i
mengatakan, “Melemparan jumrah sebelum terbit fajar diperbolehkan, meskipun
yang disunahkan adalah setelah terbit matahari.” (Rasydi, 1991: 625).
Para ulama juga
sepakat bahwa waktu yang disunahkan untuk melempar jumrah aqabah adalah sejak
terbit matahari hingga waktu zawal (tergelincir matahari) dan apabila seseorang
melemparkannya sebelum terbenam matahari
pada tanggal 10 Zulhijah, maka hal
itubtelah memenuhi syarat dan tidak ada kewajiban apa-apa baginya. Kecuali
menurut Malik karena dia mengatakan bahwa disunahkan baginya untuk menyerahkan
denda. (Rasydi, 1991: 626).
Mereka berbeda
pendapat mengenai orang yang belum
melemparkan jumrah hingga matahari terbenam, kemudian melemparkannya pada malam
harinya atau keesokan harinya.
Malik
berpendapat bahwa orang tersebut diwajibkan membayar denda.
Abu Hanifah
berpendapat bahwa apabila orang itu melemparkannya pada amalam hari, maka tidak
ada kewajiban apa-apa atasnya. Akan tetapi, jika menunda hingga keesokan
harinya, dia wajibmengeluarkan denda. (Rasydi, 1991: 626).
Abu Yusuf,
Muhammad, dan Syafi’i berpendapat bahwa tidak ada kewajiban apapun atas orang
itu jika dia menunda hingga malam harinya atau keesokan harinya. (Rasydi, 1991:
626).
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Para imam
mazhab telah sepakat bahwa haji merupakan salah satu rukun Islam. Ia adalah
fardu yang diwajibkan atas setiap Muslim yang merdeka, baligh, dan mempunyai
kemampuan, dalam seumur hidup sekali.
Syarat-syarat
ibadah haji diantaranya adalah Islam, karena hajinya non-muslim tidak sah,
dalam hal ini tidak perbedaan pendapat dikalangan ulama.
Para ulama
berbeda pendapat tentang sah tidaknya anak kecil melakukan ibadah haji: Malik
dan Syafi’i memperbolehkan anak kecil melakukan ibadah haji, sedangkan Abu
Hanifah melarang anak kecil melakukannya.
Jumhur ulama
sepakat bahwa orang yang rumahnya lebih dekat (ke Baitullah) daripada
miqat-miqat tersebut, miqat ihramnya dimulai dari rumahnya.
Segolongan
ulama berpendapat bahwa orang yang diperintahkan bertawaf, disunahkan
berlari-lari kecil pada tiga putaran tawaf ifadhah, seperti disunahkannya jalan cepat pada tawaf qudum mereka sepakat
bahwa penduduk Mekah hanya diwajibkan tawaf ifadhah.
Sa’i antara
Shafa dan Marwah, Malik dan Syafii berpendapat bahwa hukum pelaksanaan sa’i
adalah wajib.
Wukuf di
Arafah, mengenai hukum wukuf di Arafah, para ulama sepakat bahwa wukuf adalah
salah satu rukun haji dan bahwa orang yang terlambat wukuf, wajib melaksanakan
ibadah haji kembali pada tahun depan, serta menyerahkan hewan sembelihan.
Bermalam di
Muzdalifah, para ulama sepakat bahwa orang yang telah bermalam di Muzdalifah
pada malam kurban (tanggal 10 zulhijah), menjamak shalat maghrib dengan isya
bersma imam, berwukuf sehabis shalat subuh hingga waktu isfar (waktu baru saja
matahari terbenam), dan berwukuf di Arafah, maka hajinya telah sempurna karena
Rasulullah saw juga melakukan demikian.
Melempar
Jumrah, perbuatan haji yang dikerjakan sesudah wukuf di Muzdalifah adalah
melempar jumrah (batu). Berdasarkan kesepakatan kaum muslimin bahwa Nabi saw
berwukuf di Masy’aril Haram, yaitu Muzdalifah setelah mengerjakan shalat subuh
dan setelah terbit matahari bertolak dari sana menuju Mina.
DAFTAR PUSTAKA
Ad-Dimasyqi,Syaikh Al-Allamah Muhammad Bin Abdurrohman.2013.Fiqih
Empat Mazhab.Bandung: Hasyimi.
Darajat,Zakiah.1982.Ilmu Fiqh.Jakarta: Proyek Pembinaan
Perguruan Tinggi Agama/ IAIN Di Pusat.
Rasjid,Sulaiman.2005.Fiqih Islam.Bandung: Sinar Baru
Algensindo.
Rusydi,Ibnu.1991.Bidayatul Mujtahid.Bandung: Trigenda Karya.